Prosedur Berperkara

Prosedur Berperkara

Cerai Talak

Langkah yang harus dilakukan Pemohon (pihak suami/kuasanya):

  • Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah (pasal 118 HIR 142 Rbg jo pasal 66 UU Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006);
  • Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah tentang tata cara membuat surat permohonan (pasal 119 HIR 143 Rbg jo pasal 58 UU Nomor 7 Tahun 1989 yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).

Surat permohonan dapat diubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum. Jika Termohon telah menjawab surat permohonan tersebut harus atas persetujuan Termohon.

Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah:

  • Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (pasal 66 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006);
  • Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Pemohon, maka permohonannya harus diajukan kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (pasal 66 ayar (2) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006);
  • Bila Termohon berkediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (pasal 66 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006);
  • Bila Pemohon dan Termohon berkediaman di luar negeri, maka permohonan dilakukan kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkan pernikahan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Selatan (pasal 66 ayat (4) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006)

Permohonan tersebut memuat:

  • Nama, umur, pekerjaan, agama, dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon;
  • Posita (fakta kejadian dan fakta hukum); dan
  • Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita)

Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama, dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau sesudah ikrar talak diucapkan (pasal 66 ayat (5) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006)

Membayar biaya perkara (pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) Rbg jo pasal 89 UU Nomor 7 Tahun 1989). Bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma/prodeo (pasal 237 HIR, 273 Rbg).

Langkah yang harus dilakukan Penggugat (pihak istri/kuasanya):

  • Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah (pasal 118 HIR 142 Rbg jo pasal 66 UU Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006);
  • Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah tentang tata cara membuat surat gugatan (pasal 118 HIR 142 Rbg jo pasal 58 UU Nomor 7 Tahun 1989 yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006); dan
  • Surat gugatan dapat diubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum. Jika Tergugat telah menjawab surat gugatan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.

Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah:

  • Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat (pasal 73 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006);
  • Bila Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Tergugat, maka gugatan harus diajukan kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (pasal 32 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 73 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006);
  • Bila Penggugat berkediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (pasal 73 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006);
  • Bila Penggugat dan Tergugat berkediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkan pernikahan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Selatan (pasal 73 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006)

Gugatan tersebut memuat:

  • Nama, umur, pekerjaan, agama, dan tempat kediaman Penggugat dan Tergugat;
  • Posita (fakta kejadian dan fakta hukum); dan
  • Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita)

Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama, dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 66 ayat (5) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006)

Membayar biaya perkara (pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) Rbg jo pasal 89 UU Nomor 7 Tahun 1989). Bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma/prodeo (pasal 237 HIR, 273 Rbg).

Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah.

Langkah yang harus dilakukan Penggugat (pihak istri/kuasanya):

  • Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah (pasal 118 HIR 142 Rbg);
  • Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah: (yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat) (Bila tempat kediaman Tergugat yang tidak diketahui, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat) (Bila mengenai benda tetap maka gugatan dapat dilakukan kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat letak benda tersebut) (Bila benda tetap tersebut terletak dalam wilayah beberapa Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah, maka gugatan dapat dilakukan kepada salah satu Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah yang dipilih oleh Penggugat (pasa 118 HIR, 142 Rbg)).

Membayar biaya perkara (pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) Rbg jo pasal 89 UU Nomor 7 Tahun 1989). Bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma/prodeo (pasal 237 HIR, 273 Rbg).

Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri sidang pemeriksaan berdasarkan panggilan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah (pasal 121, 124, dan 125 HIR, 145 Rbg).

Ketentuan Umum

Gugatan Sederhana atau Small Claim Court adalah tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materil paling banyak Rp 500 juta yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana. Perbedaan gugatan sederhana dengan gugatan pada umumnya adalah nilai kerugian materiil yang lebih khusus ditentukan pada gugatan sederhana, yakni maksimal Rp 500 juta. Sedangkan pada gugatan pada perkara perdata biasa, nilai kerugian materiil tidak dibatasi besarnya. Di samping itu, gugatan sederhana ini diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal dalam lingkup kewenangan peradilan umum. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana diterbitkan bertujuan untuk mempercepat proses penyelesaian perkara sesuai asas peradilan sederhana, cepat, biaya ringan. Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2019 ini juga salah satu cara mengurangi volume perkara di Mahkamah Agung dan sebagai perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015, serta diadopsi dari sistem peradilan small claim court yang salah satunya diterapkan di London, Inggris.

Gugatan Sederhana PERMA Nomor 4 Tahun 2019 Pasal 4

  1. Para pihak dalam gugatan sederhana terdiri dari Penggugat dan Tergugat yang masing-masing tidak boleh lebih dari 1 (satu), kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama;
  2. Terhadap Tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya, tidak dapat diajukan gugatan sederhana;
  3. Penggugat dan Tergugat dalam gugatan sederhana berdomisili di daerah hukum Pengadilan yang sama;
  4. Dalam hal Penggugat berada di luar wilayah hukum tempat tinggal atau domisili Tergugat, Penggugat dalam mengajukan gugatan menunjuk kuasa, kuasa insidentil, atau wakil yang beralamat di wilayah hukum atau domisili Tergugat dengan surat tugas dari institusi Penggugat;
  5.  Penggugat dan Tergugat wajib menghadiri secara langsung setiap persidangan dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum, kuasa insidentil, atau wakil dengan surat tugas dari institusi Penggugat;
  6. Perkara gugatan sederhana tidak wajib diwakili kuasa hukum atau advokat seperti halnya dalam perkara gugatan perdata biasa, namun, para pihak (Penggugat dan Tergugat) dengan atau tanpa kuasa hukum wajib hadir langsung di persidangan. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2019 tidak melarang menggunakan jasa advokat sebagaimana terdapat dalam Pasal 4 ayat (4), “dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum”. Hal ini didasari pertimbangan nilai gugatan yang dikhawatirkan tidak sebanding dengan biaya kuasa hukum itu sendiri.

Tahapan Penyelesaian Gugatan Sederhana

Gugatan sederhana diperiksa dan diputus oleh Hakim tunggal yang ditunjuk oleh Pengadilan. Penyelesaian gugatan sederhana paling lama 25 (dua puluh lima) hari sejak hari sidang pertama. Tahapan penyelesaian gugatan sederhana meliputi:

  1. Pendaftaran;
  2. Pemeriksaan kelengkapan gugatan sederhana;
  3. Penetapan Hakim dan penunjukan Panitera Pengganti;
  4. Pemeriksaan pendahuluan;
  5. Penetapan hari sidang dan pemanggilan para pihak;
  6. Pemeriksaan sidang dan perdamaian;
  7. Pembuktian; dan
  8. Putusan.

Alur Gugatan Sederhana

Merujuk pada isi Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2019, maka pemeriksaan pendahuluan menjadi tahapan paling krusial, karena di tahap ini Hakim berwenang menilai dan kemudian menentukan apakah perkara tersebut adalah gugatan sederhana. Di dalam pemeriksaan pendahuluan, apabila dalam pemeriksaan Hakim berpendapat bahwa gugatan tidak termasuk dalam gugatan sederhana, maka Hakim mengeluarkan Penetapan yang menyatakan bahwa gugatan bukan gugatan sederhana, mencoret dari register perkara dan memerintahkan pengembalian sisa biaya perkara kepada Penggugat. Terkait putusan akhir gugatan sederhana, para pihak dapat mengajukan keberatan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah putusan diucapkan atau setelah pemberitahuan putusan. Keberatan ini diputus Majelis Hakim sebagai putusan akhir, sehingga tidak tersedia upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Disebutkan dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2019 bahwa Hakim wajib untuk berperan aktif dalam:

  1. Memberikan penjelasan mengenai acara gugatan sederhana secara berimbang kepada para pihak;
  2. Mengupayakan penyelesaian perkara secara damai termasuk menyarankan kepada para pihak untuk melakukan perdamaian di luar persidangan;
  3. Menuntun para pihak dalam pembuktian; dan
  4. Menjelaskan upaya hukum yang dapat ditempuh para pihak.

Tenggang Waktu untuk Mengajukan Verzet/ Perlawanan

  1. Dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan diberitahukan (Pasal 129 (2) HIR);
  2. Sampai hari ke-8 (delapan) setelah teguran seperti dimaksud, Pasal 196 HIR; apabila yang ditegur itu datang menghadap; dan
  3. Kalau tidak datang waktu ditegur samapi hari ke-8 (delapan) setelah eksekutarial (pasal 129 HIR).

Perlawanan terhadap Verstek, Bukan Perkara Baru

Perlawanan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan gugatan semula. Oleh karena itu, perlawanan bukan gugatan atau perkara baru, tetapi tiada lain merupakan bantahan yang ditujukan kepada ketidakbenaran dalil gugatan, dengan alasan putusan verstek yang dijatuhkan, keliru dan tidak benar. Putusan MA Nomor 494K/Pdt/1983 mengatakan dalam proses verzet atas verstek, Pelawan tetap berkedudukan sebagai Tergugat dan Terlawan tetap sebagai Penggugat.

Pemeriksaan Perlawanan (Verzet)

Pemeriksaan berdasarkan Gugatan Semula

Dalam putusan MA No. 938K/Pdt/1986, terdapat pertimbangan sebagai berikut:

  1. Substansi verzet terhadap putusan verstek, harus ditujukan kepada isi pertimbangan putusan dan dalil gugatan Terlawan/ Penggugat asal;
  2. Verzet yang hanya mempermasalahkan alasan ketidakhadiran Pelawan/ Tergugat asal menghadiri persidangan, tidak relevan, karena forum untuk memperdebatkan masalah itu sudah dilampaui. Putusan verzet yang hanya mempertimbangkan masalah sah atau tidak ketidakhadiran Tergugat memenuhi panggilan sidang keliru. Sekiranya Pelawan hanya mengajukan alasan verzet tentang masalah keabsahan atas ketidakhadiran Tergugat memenuhi panggilan, Pengadilan yang memeriksa verzet harus memeriksa kembali gugatan semula, karea dengan adanya verzet, putusan verstek mentah kembali, dan perkara harus diperiksa sejak semula.
Surat Perlawanan sebagai Jawaban Tergugat terhadap Dalil Gugatan
Berdasarkan pasal 129 ayat (3) HIR, perlawanan diajukan dan diperiksa dengan acara biasa yang berlaku untuk acara perdata. Dengan begitu, kedudukan Pelawan sama dengan Tergugat. Berarti surat perlawanan yang diajukan dan disampaikan kepada Pengadilan, pada hakikatnya sama dengan surat jawaban yang digariskan Pasal 121 ayat (2) HIR. Kualitas surat perlawanan sebagai jawaban dalam proses verzet dianggap sebagai jawaban pada sidang pertama.
  1. Permohonan banding harus disampaikan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah dalam tenggang waktu: (a). 14 (empat belas) hari, terhitung mulai hari berikutnya dari hari pengucapan putusan, pengumuman/pemberitahuan putusan kepada yang berkepentingan; (b). 30 (tiga puluh) hari bagi Pemohon yang tidak bertempat di kediaman di wilayah hukum Pengadilan Agama/ Makhamah Syariah yang memutus perkara tingkat pertama. (Pasal 7 UU No. 20 Tahun 1947)
  2.  Membayar biaya perkara banding (Pasal 7 UU No. 20 Tahun 1947, Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989).
  3. Panitera memberitahukan adanya permohonan banding (Pasal 7 UU No. 20 Tahun 1947).
  4. Pemohon banding dapat mengajukan memori banding dan Termohon banding dapat mengajukan kontra memori banding (Pasal 11 ayat (3) UU No. 20 Tahun 1947).
  5. Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah permohonan diberitahukan kepada pihak lawan, Panitera memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk melihat surat-surat berkas perkara di kantor Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah (Pasal 11 ayat (1) UU No. 20 Tahun 1947).
  6. Berkas perkara banding dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama/ Mahkamah Syariah provinsi oleh Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan sejak diterima perkara banding.
  7. Salinan putusan banding dikirim oleh Pengadilan Tinggi Agama/ Mahkamah Syariah provinsi ke Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah yang memeriksa perkara pada tingkat pertama untuk disampaikan kepada para pihak.
  8. Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah menyampaikan salinan putusan kepada para pihak.
  9. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka Panitera: (a). Untuk perkara cerai talak: Memberitahukan tentang penetapan hari sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil Pemohon dan Termohon, Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari. (b). Untuk perkara cerai gugat, Memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari.
  1. Permohonan Kasasi diteliti kelengkapan berkasnya oleh Mahkamah Agung, kemudian dicatat dan diberi nomor register perkara kasasi.
  2. Mahkamah Agung memberitahukan kepada Pemohon dan Termohon kasasi bahwa perkaranya telah diregistrasi.
  3. Ketua Mahkamah Agung menetapkan tim dan selanjutnya ketua tim menetapkan Majelis Hakim Agung yang akan memeriksa perkara kasasi.
  4. Penyerahan berkas perkara oleh asisten koordinator (Askor) kepada Panitera Pengganti yang menangani perkara tersebut.
  5. Panitera Pengganti mendistribusikan berkas perkara ke Majelis Hakim Agung masing-masing (pembaca 1, 2, dan pembaca 3) untuk diberi pendapat.
  6. Majelis Hakim Agung memutus perkara.
  7. Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan kepada para pihak melalui pengadilan tingkat pertama yang menerima permohonan kasasi.
  1.  Permohonan banding harus disampaikan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah dalam tenggang waktu: (a). 14 (empat belas) hari, terhitung mulai hari berikutnya dari hari pengucapan putusan, pengumuman/pemberitahuan putusan kepada yang berkepentingan; (b). 30 (tiga puluh) hari bagi Pemohon yang tidak bertempat di kediaman di wilayah hukum Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah yang memutus perkara tingkat pertama. (Pasal 7 UU No. 20 Tahun 1947).
  2. Mengajukan permohonan PK kepada Mahkamah Agung secara tertulis atau lisan melalui pengadilan agama/mahkamah syariah.
  3. Pengajuan PK dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sesudah penetapan/putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap atau sejak diketemukan bukti adanya kebohongan/ bukti baru, dan bila alasan Pemohon PK berdasarkan bukti baru (Novum), maka bukti baru tersebut dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 69 UU No.14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No.5 Tahun 2004).
  4. Membayar biaya perkara PK.
  5. Panitera pengadilan tingkat pertama memberitahukan dan menyampaikan salinan memori PK kepada pihak lawan dalam tenggang waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari.
  6. Pihak lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap memori PK dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan PK.
  7. Panitera pengadilan tingkat pertama mengirimkan berkas PK ke MA selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari.
  8. Panitera MA menyampaikan salinan putusan PK kepada pengadilan agama/mahkamah syariah.
  9. Pengadilan agama/ Mahkamah Syariah menyampaikan salinan putusan PK kepada para pihak selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari.
  10. Setelah putusan disampaikan kepada para pihak maka Panitera: (a). Untuk perkara cerai talak: Memberitahukan tentang penetapan hari sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil Pemohon dan Termohon, Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari. (b). Untuk perkara cerai gugat, Memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari.